Kamis, 03 November 2011

Mendidik bukan meng(h)ajar


Setiap pagi ayas melakukan aktivitas yang boleh dibilang membosankan, mulai dari sholat Subuh hingga manasin motor beberapa menit sebelum berangkat menemui para siswa di sekolah. Cukup membosankan jadi guru, tapi rupanya ini sebuah isyarat bahwa mendidik merupakan sebuah proses yang komplek tapi tidak rumit. Mari kita kupas satu per satu. 

 Pembelajaran perlu kesiapan psikis yang baik
Proses pembelajaran mengharuskan semua komponen didalamya untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi sehingga kerjasama mampu berjalan dengan baik. Sebelum melakukan interaksi, guru perlu mematangkan kondisi fisik dan psikis.
Misalnya keadaan tubuh musti fit, tidak ngantuk atau kecapekan. Sedangkan semua masalah di rumah tidak usah dibawa ke dalam kelas, karena bagaimanapun siswa hanya memerlukan layanan yang prima dalam belajarnya sehingga iklim kelas tetap terjaga dengan baik. Selain itu, dengan kondisi demikian prima pikiran tentu akan lebih terbuka serta mudah memecahkan masalah yang muncul dalam proses pembelajaran. Hal berikutnya adalah persiapan materi yang matang, mau tidak mau guru harus menguasai materi yang akan disajikan. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru akan tetapi sering diremehkan bahkan dilupakan. Banyak diantaranya karena menganggap materi adalah sesuatu yang beku dan baku atau itu-itu aja setiap ganti tahun ajaran. Ditambah lagi kreatifitas otak guru mulai digerogoti oleh virus LKS (lembar kerja siswa) dan buku paket, seolah-olah guru tidak bisa mengajar jika siswa tidak menggunakan LKS atau buku paket produksi penerbit “A”. Naudzubillah hi min dzalik. Padahal bahan mengajar saat ini dapat didapatkan dari berbagai sumber informasi yang senantiasa dinamis dan berkembang dengan daya akses yang relatif mudah.

Siswa adalah klien yang harus dilayani bukan ditaklukkan
Guru bukan hanya memiliki tugas mengajar saja, tetapi juga bagaimana melayani sekian banyak siswa dengan  masing-masing karakter dan gaya belajarnya dengan optimal. Ini merupakan seni mengajar, dan tentu tidak selesai jika menerapkan satu strategi mengajar saja. Apabila hal ini dipaksakan, maka siswa yang merasa tidak cocok dengan gaya dan karakteristik belajarnya akan merasa bosan dan yang lebih parah terjadi penolakan. Sebuah kasus membuktikan banyak diantara guru yang memiliki pemahaman yang sedikit menyimpang dalam menghadapi siswa yang dianggap nakal atau biang onar. Lebih banyak diantaranya yang memilih tindakan yang kasar, mulai menghardik hingga memberi sanksi fisik yang jelas-jelas sangat tidak efektif. Ingatkah anda hukum reward and punishment? Sebuah tindakan bisa dianggap punishment (hukuman) jika obyek yang dikenai hukuman mengalami jera atau bahasa sederhananya kapok total, sebaliknya apabila (yang dianggap) hukuman tadi tidak mampu membuat obyeknya jera atau malah memotivasi tindakan menyimpang lainnya maka ini berbalik menjadi reward. Dalam kasus tadi guru sebenarnya semakin memakan banyak waktu dalam mempersiapkan hukuman untuk siswanya dibandingkan jika guru melakukan pendekatan persuasif karena harus menimbang hal apa yang tepat untuk dijadikan sebuah punishment (hukuman). Yang harus diingat, adalah tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan kekerasan.

Guru Pemarah = Guru Frustrasi
 Melihat kegaduhan siswa, kelas yang semrawut, ditambah sirkulasi udara di kelas yang kurang baik dapat menggiring psikis penghuninya menjadi stres. Tidak terkecuali guru, banyak diantaranya bermasalah ketika harus mengajar pada jam terakhir, pada satu sisi siswa tidak lagi memiliki semangat 100% dan di sisi lain guru telah habis separuh tenaganya. Akan tetapi bukanlah hal yang bijak apabila menjadikannya sebuah alasan untuk mengajar dengan asal-asalan. Ketika guru marah lebih banyak disebabkan kelas yang gaduh, sedangkan ributnya siswa lebih banyak disebabkan karena kebosanan. Nah, dari sini cukup jelas rasanya dari mana kita dapat memperbaiki situasi ini secara efektif.

Siswa merupakan sumber inspirasi guru
Ketika guru mengajar tidak bisa dipaksakan akan on fire setiap saat, karena selalu ada saat-saat kondisi psikis menurun akibat fisik yang lelah. Ada beberapa tips yang bisa anda coba untuk meminimalisir kejenuhan. Pertama, berpikirlah seperti saat anda masih sekolah dulu. Masa-masa dimana pikiran kita masih menjadi siswa yang butuh banyak pengertian dan perhatian dari bapak atau ibu guru kita. Konkretnya cobalah memahami apa yang siswa butuhkan dalam sebuah proses pembelajaran, hal ini sangat memengaruhi ketepatan guru dalam berinteraksi dan memerlakukan siswa. Contohnya; apabila kita sewaktu SMA mendapatkan guru yang killer, tidak pernah membawa senyumnya ke kelas maka apa yang kita rasakan? Bete, takut, minder, dan yang lebih parah tidak mampu memahami informasi yang diberikan guru. Cara ini juga dapat dipergunakan guru dalam mendeteksi kebutuhan siswa, pendekatan, hingga strategi belajar yang tepat untuk melayani siswa.

Mengajar adalah seni, maka seniman pembelajaran harus selalu me-refresh otak untuk menemukan ide-ide cemerlang sehingga mampu membuat siswa yang haus pengetahuan terpuaskan meski kita tahu dan berharap mereka tidak pernah puas dengan ilmu yang didapatkannya sekarang.

1 komentar:

tapi sayangnya tidak semua guru mempunyai sifat seperti ini

Posting Komentar